Marhaban Ramadhan
Seluruh umat Islam kini menyerukan 'Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan", selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio dan berbagai mailing list, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif. Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu'-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali.
Sejumlah nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan kembangkan. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.
Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan.
Dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.
Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia "Ifthar" (berbuka). Ini artinya kebahagiaan yang duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya.
Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.
Akhirnya, hikmah-hikmah puasa dan keutamaan-keutaman Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata "Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum". Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan 'puasa' lain yang bersifat batiniah.
Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.
Jalan Kemuliaan Puasa
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa.
Lapar, Kekang Kendali Hati
Hati adalah tempat bersemayamnya kebaikan dan kejahatan. Dia adalah penguasa anggota tubuh dan pembawa diri, kemanapun kita akan melangkah, bagai nakhoda kapal yang menentukan arah kemana kapal akan melaju. Di hati, ada suatu kekuatan berlawanan yang saling tarik manarik dan saling menjatuhkan, yang masing-masing dari keduanya ingin mendominasi diri kita. Kedua kekuatan itu adalah kekuatan Ilahi dan kekuatan Syaitan dimana kita sendirilah yang menentukan pada kekuatan manakah hati kita akan dibuka.
Allah menganugerahi dalam diri manusia syahwat (suatu keinginan dan kecenderungan) untuk menjadi salah satu acuan dalam hidupnya dan menempatkannya dalam hati. Berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki syahwat, manusia dituntut untuk menjaga syahwatmya agar tetap pada posisi yang sesuai dan tidak condong pada kekuatan syaitan. Demikian pula Allah telah memberikan akal dan pengetahuan pada manusia agar bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kemudian Allah juga telah menurunkan wahyu-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang benar. Telah dijelaskan pula nilai-nilai kebenaran atas nilai-nilai kebatilan, kemudian Allah memberikan kesempatan pada manusia untuk memilih.

"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada syaitan dan beriman kepada Allah, maka sesunggguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. " (QS Al Baqarah : 256)
Namun mengapa manusia masih salah memilih jalan padahal Allah telah memberikan petunjuk kebenaran-Nya dan memberikan akal kemampuan untuk membedakan kebaikan atas keburukan?
Dalam jiwa (nafs) terdapat hawa panas yang selalu menawarkan kesenangan, keindahan dan kelezatan, tawaran ini merupakan hembusan godaan syaitan. Manakala syahwat manusia dalam hati menyambut hangat tawaran tersebut maka jiwa pun akan tunduk kepadanya dan secara otomatis anggota tubuh pun akan patuh mengikuti tawaran tersebut. Inilah hawa nafsu. Apabila ia telah menguasai hati keinginan-keinginan batil akan sulit untuk dihilangkan karena sang manusia telah memilih untuk memenangkan kekuatan syaitan atas kekuatan Ilahi.
Mungkin sebagian dari kita tidak banyak yang mengetahui darimanakah hawa nafsu itu berawal, sesungguhnya ia berawal dari "perut", Nabi SAW bersabda: "Orang mukmin makan dalam satu perut, sedangkan orang munafik makan dalam tujuh perut" (HR Muttafaq 'Alaih), yang artinya syahwat (keinginan nafsu) orang munafik itu tujuh kali lipat dari syahwat orang mukmin.
Umar bin Khattab ra mengatakan: "hendaklan kalian waspada pada perut yang penuh makanan kerena sesungguhnya perut adalah hal yang memberatkan di dalam kehidupan ini dan merupakan kebusukan setengah mati." Abdullah Al Qusyairi, seorang sufi mengatakan: "hikmah dan ilmu telah diletakkan dalam rasa lapar, sementara maksiat dan kebodohan telah diletakkan dalam kekenyangan", dalam sebuah atsar (perkataan sahabat dan tabi'in) disebutkan "perangilah hawa nafsu kalian dengan lapar dan dahaga sebab yang demikian itu terdapat balasan pahalanya".
Yang dimaksud dengan lapar dan dahaga disini adalah bukan samata-mata lapar dan dahaga saja, melainkan lapar dan dahaga dengan diiringi keteguhan iman. Betapa banyak orang yang lapar tetapi karena tidak diiringi iman di dalam hatinya, maka rasa lapar ini dimanfaatkan oleh syaitan untuk menggoda manusia, untuk berbuat kebatilan. Rasa lapar tanpa diiringi keteguhan iman adalah kosong belaka. Sebab, iman adalan pengendali hati dan lapar adalah penguat kendali hati. Lapar adalah suatu media yang digunakan Rasulullah dan para sahabat untuk memdidik hati agar tunduk pada perintah-Nya dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu.
Diantara manfaat lapar yaitu, menjernihkan hati, menyalakan kebijakan dan menajamkan penglihatan hati, seperti yang dikatakan Abu Yazid Al Busthomi, seorang sufi "lapar adalah awan maka apabila seorang hamba lapar, keluarlah hujan hikmah dari hatinya". Kemudian diantara manfaat lapar yang paling utama yaitu mematahkan keinginan nafsu terhadap semua bentuk maksiat dan menguasai nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan. Aisyah ra mengatakan, "bid'ah yang pertama kali terjadi sepeninggal Rasulullah adalah kenyang, sesungguhnya manusia ketika kenyang perutnya akan menjadi liarlah nafsunya dalam menghadapi dunia ini".
Jika nafsu sudah terkekang dan keinginan-keinginan nafsu untuk hidup berlebihan dengan menumpuk-numpuk harta sudah sirna, orang tidak lagi berusaha mencari mata pencaharian haram dan berbuat kemaksiatan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Hal ini akan melahirkan kesederhanaan dalam hidup dan memungkinkan seseorang untuk mengutamakan orang lain dan bersedekah dengan makanan yang lebih kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Disamping itu, manfaat dari nafsu yang terkekang yaitu terkendalinya syahwat yang selalu condong pada kesenangan yang berlebihan dan kemaksiatan.
Melihat betapa besar manfaat lapar sebagai penguat kendali hati untuk tidak jatuh pada kubangan hitam kemaksiatan dan sebagai pembuka pintu ketajaman hati, maka marikah kita jadikan bulan suci Ramadhan kali ini sebagai waktu yang tepat untuk melatih diri (mujahadah nafs) mengasah sumber hikmah (hati) yang tersembunyi dalam diri kita dengan lapar dan dahaga. Agar selalu diingat, bahwa menahan lapar dan dahaga saja tanpa diiringi dengan ibadah dah dzikrullah tidak akan mempunyai nilai dan kekuatan dalam mengubah diri dan mensucikan hati. Karena puasa tanpa latihan jiwa hanyalah aktifitas kosong dan tidak bermakna. Maka marilah kita resapi bersama-sama makna puasa ini agar kita senantiasa dapat merasakan hikmah dan manfaatnya bagi diri kita khususnya dan bagi sosial umumnya. Wabillahi Taufiq wal Hidayah.
Puasa Ramadan
"Hai orang-orang beriman! Puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa.
(Menjalankannya) dalam beberapa hari tertentu, tapi jika salah seorang di antaramu sakit atau dalam perjalanan, maka (diwajibkan atasnya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi mereka yang kesusahan menjalankannya (semisal, karena lanjut usia), maka diwajibkan memberi makan seorang miskin (membayar fidyah, tebusan). Namun, barangsiapa yang dengan rela mengerjakan kebaikan, maka hal ini lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Bulan Ramadan yang pada bulan itu diturunkan al-Qur`an, sebuah petunjuk bagi manusia dan bukti-bukti nyata bagi petunjuk itu serta standar ukuran (untuk membedakan yang benar dan yang salah). Maka, barangsiapa di antaramu menyaksikan (bulan sabit sebagai tanda malam pertama) bulan Ramadan (di tempat tinggalnya), haruslah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (sehingga meninggalkan puasa), maka (diwajibkan atasnya mengganti puasa) sebanyak hari-hari (yang ditinggalkan) pada hari-hari yang lain (hari-hari selain bulan Ramadan). Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tak menghendaki kesukaran bagimu. (Dia ingin) agar kamu menyempurnakan jumlah yang sama (jumlah hari pada bulan Ramadan), dan agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang telah diberikan kepadamu, dan agar kamu berterima kasih" (Q., s. al-Baqarah/2: 183-185).
Al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis Qudsi dari Abû Hurairah yang artinya "Setiap kebaikan diganjar dengan sepuluh sampai tujuh ratus kebaikan serupa, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya."
Jelas, pahala puasa tak terhenti pada suatu batas. Pahalanya melebihi standar hitungan dan taksiran. Puasa merupakan indikasi keikhlasan terbesar. Puasa juga merupakan manifestasi ketabahan dan kesabaran. Allah berfirman: "Hanya orang-orang penyabarlah yang akan mendapatkan pahala sepenuhnya, tiada terhitung" (Q., s. al-Zumar/39: 10).
Keduanya juga meriwayatkan hadis senada, masih dari Abû Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamannya, sungguh! Bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada harumnya parfum misk. Allah Yang Maha Agung berfirman: 'Sesungguhnya orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena-Ku, maka puasanya adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan mengganjarnya'."
Bukti terkuat atas keutamaan puasa adalah bau busuk mulut orang yang berpuasa. Bau busuk ini terjadi karena perubahan yang disebabkan puasa dan meninggalkan makan.
Tiada lagi bau harum, tak ada rasa sedap yang tersisa, bahkan bau mulut yang oleh kebiasaan tak disukai, hal itu di sisi Allah lebih harum dan lebih baik. Itu adalah bau yang paling harum dari orang berpuasa, lebih harum dibanding bau parfum misk yang biasa dipakai manusia.
Al-Bukhârî juga meriwayatkan sebuah hadis dari Mâlik, dari Abû Zanâd, dari al-A'raj, dari Abû Hurairah ra., dari Rasulullah saw.: "Puasa adalah benteng. Jika salah seorang di antaramu berpuasa, maka jangan berkata-kata kotor-yaitu jangan mengatakan ucapan yang tak sepantasnya diucapkan (karena tak senonoh atau jorok), dan jangan berlaku bodoh, seperti berbuat gaduh, takabur, arogan, dan congkak-dan jika seseorang memusuhinya atau mengejeknya, maka katakanlah: 'Sesungguhnya saya puasa. Sesungguhnya saya puasa'."
Maksud ungkapan "puasa adalah benteng" berarti: puasa merupakan pelindung dan penjaga dari kemaksiatan dan dari siksaan di hari Akhir.
Dari al-Ahnaf ibn Qays, dikatakan kepadanya: "Engkau sudah tua renta dan puasa akan membuatmu lemah". Al-Ahnaf menjawab: "Saya menyiapkannya untuk perjalanan yang panjang; bersabar dalam ketaatan kepada Allah swt. lebih ringan dari pada bersabar atas siksa-Nya."
Kedudukan dan Keutamaan Puasa dalam Agama dan Kehidupan
Puasa termasuk salah satu ajaran terpenting Islam. Rasulullah saw. menegaskan bahwa puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang menjadi pilar agama ini. Nabi saw. bersabda: "Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, membayar zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanannya".
Karena pentingnya puasa, tingginya kedudukan, dan besarnya manfaat bagi jasmani dan mental itulah Allah mewajibkan puasa kepada manusia melalui ajaran Islam. Juga, melalui ajaran-ajaran samawi terdahulu, sebelum Islam. Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Hai orang-orang beriman! Puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2: 183).
Puasa merupakan penyucian jiwa, peninggian spirit; mengajarkan kepada manusia bagaimana mengangkat diri dari derajat hewan yang kebutuhannya hanya memenuhi perut; makan dan minum, mengajarkan kepada manusia bagaimana meninggikan diri mereka sampai ke derajat para malaikat yang menjadikan kedekatan kepada Allah, ibadah, dan takwa kepada-Nya sebagai makanan bagi ruh mereka. Puasa mendidik untuk membiasakan sifat sabar, mengekang hawa nafsu, membiasakan untuk menanggung beban berat, dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan.
Puasa menumbuhkan keutamaan sifat amanah dan ikhlas dalam berbuat; beribadah hanya karena Allah, bukan karena mengharapkan pujian dan mencari muka.
Puasa merupakan penjernihan jiwa dari noda-noda dunia dan godaan-godaannya; puasa merupakan pembebas jiwa dari jeratan kenikmatan dan keasyikan rendah dunia. Sehingga, melimpahnya materi tak akan mendominasi dan menguasai perilaku manusia dalam kehidupan ini. Bahkan perilaku terpuji dan daya spiritual luhurlah yang akan mendominasi kehidupan ini. Dengan hal itu, terwujud lah persaudaraan dan kecintaan manusia, juga terealisasi kerjasama antara individu dan masyarakat-suatu hal yang tak ditemukan pada kehidupan materialistis yang didengungkan bangsa-bangsa dunia saat ini, karena pengenyampingannya terhadap sisi spiritual-dan darinya lah diperoleh kemauan untuk hidup damai, aman, saling kerjasama dan mencinta.
Inilah spiritual tinggi, dan inilah kebijaksanaan-kebijakasanaan yang mengagumkan. Itulah sebagian keistimewaan dan buah puasa. Hal ini telah tunjukkan oleh al-Qur`an dalam ayat puasa dengan firman-Nya: "... agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2:183). Nabi saw juga menunjukkan hal senada dalam sabdanya: "Puasa adalah benteng". Puasa membangkitkan kekuatan hati, ketakwaan hati, juga ketundukan kepada Allah semata. Puasa memadamkan beban-beban jiwa, semisal dengki, dendam, egois, angkuh dan sombong, dan menjaga jiwa dari tergelincir bersama hawa nafsu, dari kecenderungan memaksa dan sewenang-wenang, juga melindungi jiwa dari kekejian, tindakan amoral dan asusila.
Benar, puasa adalah sebaik-baik pendidik bagi manusia melalui hati yang jernih dan ikhlas dalam berbuat, juga melalui kesungguhan, kemantapan dan kuatnya niat. Keutamaan-keutamaan ini, semuanya adalah sumber kebaikan dan dasar dari sifat-sifat terpuji.
Seseorang yang mengekang dirinya sepanjang hari dari kebiasaan-kebiasaannya, seperti makan dan minum, dan dari keinginan-keinginan syahwat-seperti kenikmatan yang dihalalkan oleh Allah pada saat-saat selain puasa-, maka barangsiapa mengekang dirinya dari hal-hal halal semacam ini karena ketaatan kepada Allah, mematuhi hukum-hukum Allah, dan bermaksud untuk memperoleh ridha-Nya, tak syak lagi, ia akan mampu menahan dirinya dari hal-hal yang haram. Juga akan mampu menahan dirinya dari segala sesuatu yang dimurkai Allah.
Begitu pula perilakunya dalam masyarakat dan hubungannya dengan orang lain akan dijalani dengan penuh kejujuran, amanat, mentaati kesepakatan, menepati janji, tak berdusta dan tak suka bertengkar. Ia juga tak akan menipu, dan tiada berkhianat. Bahkan atas nama agama dan kehormatannya ia akan menjauhkan diri dari segala bentuk kemungkaran dan perilaku kotor, juga segala sesuatu yang dapat menghilangkan kehormatan, kemulian, dan keluhuran cita-citanya.
Inilah manfaat-manfaat puasa bagi manusia dengan kesehatan tubuh dan jasad mereka. Puasa baginya adalah pemelihara, penjaga kekuatan, pembersih organ-organ tubuh dari pengaruh cairan-cairan yang berbahaya-diungkapkan oleh paramedis bahwa ada cairan-cairan di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kelainan dan penyakit.
(Oleh: Syaikh 'Abd-u 'l-Rahmân Tâj, Syaikh-u 'l-Azhar terdahulu, dikutip dari artikel di Majalah al-Azhar, edisi Ramadan Tahun 1376 H/Alih bahasa: Shocheh Ha.)
Jalan Kemuliaan Puasa
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa.
Sorga, Jamuan Allah Untuk Orang Mukmin
Dimuat Minggu, 25 November 2001
Di saat manusia kembali kepada Tuhannya, di situlah ia akan bersilaturrahmi kepada penciptanya. Tuhan yang memberinya petunjuk dan yang memberinya alam kehidupan. Pertemuan antara pencipta dan yang dicipta ini, merupakan akhir dari perjalanan yang dilalui manusia. Layaknya tuan rumah, Allah menyediakan tamu-tamunya berbagai hidangan, tergantung kepada setiap individu-individu yang sampai kepadaNya. Pada mereka disediakan tempat-tempat khusus tergantung kepada jalur dan rute yang dilalui. Mereka yang beriman akan ditempatkan di tempat khusus yang namanya sorga dan mereka yang tidak beriman akan ditempatkan di ruang yang disebut neraka.
"Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal soleh ke dalam sorga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka berhiaskan kalung-kalung dari emas dan mutiara, pakaian mereka terbuat dari sutera, mereka diantarkan dalam ruang yang penuh kata-kata baik dan indah dan mereka diantarkan kepada jalan yang terpuji" (QS. Haj : 23-24).
Sorga memang jamuan dari Allah, Yang Maha Kaya dan Maha Dermawan. Hadiah ini dinisbatkan kepada tamu-tamu Allah yang beriman dan mereka yang senantiasa menjunjung tinggi etika mulia (ahlakul karimah). Yaitu mereka yang senantiasa melakukan kabajikan dan senantiasa memerangi kemaksiatan. Rasulullah pernah bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk sorga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia" (HR. Ahmad).
Jamuan yang diberikan oleh Sang Pencipta tentu berbeda jauh dengan jamuan yang ada di dunia ini. Jamuan yang biasa kita berikan kepada tamu-tamu mungkin sebatas makanan, minuman dan hadiah-hadiah kecil dan perkara-perkara duniawi. Jamuan kita juga terbatas dengan waktu dan tempat, tergantung kepada situasi dan kondisi. Mungkin, ketika kita senang, jamuan yang kita hidangkan terkadang terkesan glamor dan berlebih-lebihan, namun kala kita sedang marah dan tertekan, jamuan yang kita sajikan begitu sederhana dan bahkan tidak segan kita tidak menyuguhkan apa-apa. Terkadang kita juga memberi jamuan kepada tamu-tamu hanya untuk gengsi-gengsian, memamerkan kekayaan kita dan demi tujuan tertentu kita.
Lain halnya jamuan yang dihidangkan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang beriman dan beramal saleh. Jamuan ini begitu sempurna. Saking sempurnanya hingga sulit untuk digambarkan dan dicontohkan dalam kehidupan ini. Kata Rasulullah, "Sorga ibaratnya, tidak ada mata yang pernah melihatnya dan tidak ada telinga yang pernah mendengarnya, bahkan tidak sedetik pun bisa terbersit dalam hati manusia, dari sesuatu yang maha sempurna". Karena itulah kebahagiaan hakiki yang disuguhkan kepada hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh. Dan kebahagiaan yang paling tinggi yang disuguhkan Allah dalam sorga adalah berkesempatan bertemu langsung dengan Allah, "Tingkat sorga terendah adalah perumpamaan seseorang yang berkesempatan menikmati kampung halamannya, melihat istrinya, sanak saudaranya dengan penuh kebahagiaan selama seribu tahun. Dan tingkat tertinggi sorga adalah melihat Allah siang dan malam, "Muka-muka mereka pada hari itu berseri karena melihat Tuhan mereka" (H.R. Tirmizi).
Nabi Ibrahim as. bernah berpesan kepada Nabi Muhammad saw pada saat perjumpaan keduanya di malam Mi'raj, "Hai Muhammad, sampaikan salamku untuk umatmu dan ceritakan kepada mereka bahwa sorga bertanahkan wangi-wangian, airnya terasa segar, dan tanaman-tanamannya adalah "subhanallah", 'Alhamdulillah" dan "la'ilaaha illallah".
Siapakah tamu-tamu yang berhak mendapat suguhan sorga ketika nanti bertemu Allah. Mereka adalah orang-orang yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an surah Ali Imran ayat 133-135 sebagai berikut:
Sumber
http://www.pesantrenvirtual.com/ramadhan/1422-001.shtml
Seluruh umat Islam kini menyerukan 'Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan", selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio dan berbagai mailing list, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif. Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu'-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali.
Sejumlah nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan kembangkan. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni.
Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan.
Dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.
Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia "Ifthar" (berbuka). Ini artinya kebahagiaan yang duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya.
Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.
Akhirnya, hikmah-hikmah puasa dan keutamaan-keutaman Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata "Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum". Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan 'puasa' lain yang bersifat batiniah.
Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.
Jalan Kemuliaan Puasa
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa.
Lapar, Kekang Kendali Hati
Hati adalah tempat bersemayamnya kebaikan dan kejahatan. Dia adalah penguasa anggota tubuh dan pembawa diri, kemanapun kita akan melangkah, bagai nakhoda kapal yang menentukan arah kemana kapal akan melaju. Di hati, ada suatu kekuatan berlawanan yang saling tarik manarik dan saling menjatuhkan, yang masing-masing dari keduanya ingin mendominasi diri kita. Kedua kekuatan itu adalah kekuatan Ilahi dan kekuatan Syaitan dimana kita sendirilah yang menentukan pada kekuatan manakah hati kita akan dibuka.
Allah menganugerahi dalam diri manusia syahwat (suatu keinginan dan kecenderungan) untuk menjadi salah satu acuan dalam hidupnya dan menempatkannya dalam hati. Berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki syahwat, manusia dituntut untuk menjaga syahwatmya agar tetap pada posisi yang sesuai dan tidak condong pada kekuatan syaitan. Demikian pula Allah telah memberikan akal dan pengetahuan pada manusia agar bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kemudian Allah juga telah menurunkan wahyu-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang benar. Telah dijelaskan pula nilai-nilai kebenaran atas nilai-nilai kebatilan, kemudian Allah memberikan kesempatan pada manusia untuk memilih.

"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada syaitan dan beriman kepada Allah, maka sesunggguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. " (QS Al Baqarah : 256)
Namun mengapa manusia masih salah memilih jalan padahal Allah telah memberikan petunjuk kebenaran-Nya dan memberikan akal kemampuan untuk membedakan kebaikan atas keburukan?
Dalam jiwa (nafs) terdapat hawa panas yang selalu menawarkan kesenangan, keindahan dan kelezatan, tawaran ini merupakan hembusan godaan syaitan. Manakala syahwat manusia dalam hati menyambut hangat tawaran tersebut maka jiwa pun akan tunduk kepadanya dan secara otomatis anggota tubuh pun akan patuh mengikuti tawaran tersebut. Inilah hawa nafsu. Apabila ia telah menguasai hati keinginan-keinginan batil akan sulit untuk dihilangkan karena sang manusia telah memilih untuk memenangkan kekuatan syaitan atas kekuatan Ilahi.
Mungkin sebagian dari kita tidak banyak yang mengetahui darimanakah hawa nafsu itu berawal, sesungguhnya ia berawal dari "perut", Nabi SAW bersabda: "Orang mukmin makan dalam satu perut, sedangkan orang munafik makan dalam tujuh perut" (HR Muttafaq 'Alaih), yang artinya syahwat (keinginan nafsu) orang munafik itu tujuh kali lipat dari syahwat orang mukmin.
Umar bin Khattab ra mengatakan: "hendaklan kalian waspada pada perut yang penuh makanan kerena sesungguhnya perut adalah hal yang memberatkan di dalam kehidupan ini dan merupakan kebusukan setengah mati." Abdullah Al Qusyairi, seorang sufi mengatakan: "hikmah dan ilmu telah diletakkan dalam rasa lapar, sementara maksiat dan kebodohan telah diletakkan dalam kekenyangan", dalam sebuah atsar (perkataan sahabat dan tabi'in) disebutkan "perangilah hawa nafsu kalian dengan lapar dan dahaga sebab yang demikian itu terdapat balasan pahalanya".
Yang dimaksud dengan lapar dan dahaga disini adalah bukan samata-mata lapar dan dahaga saja, melainkan lapar dan dahaga dengan diiringi keteguhan iman. Betapa banyak orang yang lapar tetapi karena tidak diiringi iman di dalam hatinya, maka rasa lapar ini dimanfaatkan oleh syaitan untuk menggoda manusia, untuk berbuat kebatilan. Rasa lapar tanpa diiringi keteguhan iman adalah kosong belaka. Sebab, iman adalan pengendali hati dan lapar adalah penguat kendali hati. Lapar adalah suatu media yang digunakan Rasulullah dan para sahabat untuk memdidik hati agar tunduk pada perintah-Nya dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu.
Diantara manfaat lapar yaitu, menjernihkan hati, menyalakan kebijakan dan menajamkan penglihatan hati, seperti yang dikatakan Abu Yazid Al Busthomi, seorang sufi "lapar adalah awan maka apabila seorang hamba lapar, keluarlah hujan hikmah dari hatinya". Kemudian diantara manfaat lapar yang paling utama yaitu mematahkan keinginan nafsu terhadap semua bentuk maksiat dan menguasai nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan. Aisyah ra mengatakan, "bid'ah yang pertama kali terjadi sepeninggal Rasulullah adalah kenyang, sesungguhnya manusia ketika kenyang perutnya akan menjadi liarlah nafsunya dalam menghadapi dunia ini".
Jika nafsu sudah terkekang dan keinginan-keinginan nafsu untuk hidup berlebihan dengan menumpuk-numpuk harta sudah sirna, orang tidak lagi berusaha mencari mata pencaharian haram dan berbuat kemaksiatan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Hal ini akan melahirkan kesederhanaan dalam hidup dan memungkinkan seseorang untuk mengutamakan orang lain dan bersedekah dengan makanan yang lebih kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Disamping itu, manfaat dari nafsu yang terkekang yaitu terkendalinya syahwat yang selalu condong pada kesenangan yang berlebihan dan kemaksiatan.
Melihat betapa besar manfaat lapar sebagai penguat kendali hati untuk tidak jatuh pada kubangan hitam kemaksiatan dan sebagai pembuka pintu ketajaman hati, maka marikah kita jadikan bulan suci Ramadhan kali ini sebagai waktu yang tepat untuk melatih diri (mujahadah nafs) mengasah sumber hikmah (hati) yang tersembunyi dalam diri kita dengan lapar dan dahaga. Agar selalu diingat, bahwa menahan lapar dan dahaga saja tanpa diiringi dengan ibadah dah dzikrullah tidak akan mempunyai nilai dan kekuatan dalam mengubah diri dan mensucikan hati. Karena puasa tanpa latihan jiwa hanyalah aktifitas kosong dan tidak bermakna. Maka marilah kita resapi bersama-sama makna puasa ini agar kita senantiasa dapat merasakan hikmah dan manfaatnya bagi diri kita khususnya dan bagi sosial umumnya. Wabillahi Taufiq wal Hidayah.
Puasa Ramadan
"Hai orang-orang beriman! Puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa.
(Menjalankannya) dalam beberapa hari tertentu, tapi jika salah seorang di antaramu sakit atau dalam perjalanan, maka (diwajibkan atasnya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi mereka yang kesusahan menjalankannya (semisal, karena lanjut usia), maka diwajibkan memberi makan seorang miskin (membayar fidyah, tebusan). Namun, barangsiapa yang dengan rela mengerjakan kebaikan, maka hal ini lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Bulan Ramadan yang pada bulan itu diturunkan al-Qur`an, sebuah petunjuk bagi manusia dan bukti-bukti nyata bagi petunjuk itu serta standar ukuran (untuk membedakan yang benar dan yang salah). Maka, barangsiapa di antaramu menyaksikan (bulan sabit sebagai tanda malam pertama) bulan Ramadan (di tempat tinggalnya), haruslah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (sehingga meninggalkan puasa), maka (diwajibkan atasnya mengganti puasa) sebanyak hari-hari (yang ditinggalkan) pada hari-hari yang lain (hari-hari selain bulan Ramadan). Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tak menghendaki kesukaran bagimu. (Dia ingin) agar kamu menyempurnakan jumlah yang sama (jumlah hari pada bulan Ramadan), dan agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang telah diberikan kepadamu, dan agar kamu berterima kasih" (Q., s. al-Baqarah/2: 183-185).
Al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis Qudsi dari Abû Hurairah yang artinya "Setiap kebaikan diganjar dengan sepuluh sampai tujuh ratus kebaikan serupa, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya."
Jelas, pahala puasa tak terhenti pada suatu batas. Pahalanya melebihi standar hitungan dan taksiran. Puasa merupakan indikasi keikhlasan terbesar. Puasa juga merupakan manifestasi ketabahan dan kesabaran. Allah berfirman: "Hanya orang-orang penyabarlah yang akan mendapatkan pahala sepenuhnya, tiada terhitung" (Q., s. al-Zumar/39: 10).
Keduanya juga meriwayatkan hadis senada, masih dari Abû Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamannya, sungguh! Bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada harumnya parfum misk. Allah Yang Maha Agung berfirman: 'Sesungguhnya orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena-Ku, maka puasanya adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan mengganjarnya'."
Bukti terkuat atas keutamaan puasa adalah bau busuk mulut orang yang berpuasa. Bau busuk ini terjadi karena perubahan yang disebabkan puasa dan meninggalkan makan.
Tiada lagi bau harum, tak ada rasa sedap yang tersisa, bahkan bau mulut yang oleh kebiasaan tak disukai, hal itu di sisi Allah lebih harum dan lebih baik. Itu adalah bau yang paling harum dari orang berpuasa, lebih harum dibanding bau parfum misk yang biasa dipakai manusia.
Al-Bukhârî juga meriwayatkan sebuah hadis dari Mâlik, dari Abû Zanâd, dari al-A'raj, dari Abû Hurairah ra., dari Rasulullah saw.: "Puasa adalah benteng. Jika salah seorang di antaramu berpuasa, maka jangan berkata-kata kotor-yaitu jangan mengatakan ucapan yang tak sepantasnya diucapkan (karena tak senonoh atau jorok), dan jangan berlaku bodoh, seperti berbuat gaduh, takabur, arogan, dan congkak-dan jika seseorang memusuhinya atau mengejeknya, maka katakanlah: 'Sesungguhnya saya puasa. Sesungguhnya saya puasa'."
Maksud ungkapan "puasa adalah benteng" berarti: puasa merupakan pelindung dan penjaga dari kemaksiatan dan dari siksaan di hari Akhir.
Dari al-Ahnaf ibn Qays, dikatakan kepadanya: "Engkau sudah tua renta dan puasa akan membuatmu lemah". Al-Ahnaf menjawab: "Saya menyiapkannya untuk perjalanan yang panjang; bersabar dalam ketaatan kepada Allah swt. lebih ringan dari pada bersabar atas siksa-Nya."
Kedudukan dan Keutamaan Puasa dalam Agama dan Kehidupan
Puasa termasuk salah satu ajaran terpenting Islam. Rasulullah saw. menegaskan bahwa puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang menjadi pilar agama ini. Nabi saw. bersabda: "Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, membayar zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanannya".
Karena pentingnya puasa, tingginya kedudukan, dan besarnya manfaat bagi jasmani dan mental itulah Allah mewajibkan puasa kepada manusia melalui ajaran Islam. Juga, melalui ajaran-ajaran samawi terdahulu, sebelum Islam. Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Hai orang-orang beriman! Puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2: 183).
Puasa merupakan penyucian jiwa, peninggian spirit; mengajarkan kepada manusia bagaimana mengangkat diri dari derajat hewan yang kebutuhannya hanya memenuhi perut; makan dan minum, mengajarkan kepada manusia bagaimana meninggikan diri mereka sampai ke derajat para malaikat yang menjadikan kedekatan kepada Allah, ibadah, dan takwa kepada-Nya sebagai makanan bagi ruh mereka. Puasa mendidik untuk membiasakan sifat sabar, mengekang hawa nafsu, membiasakan untuk menanggung beban berat, dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan.
Puasa menumbuhkan keutamaan sifat amanah dan ikhlas dalam berbuat; beribadah hanya karena Allah, bukan karena mengharapkan pujian dan mencari muka.
Puasa merupakan penjernihan jiwa dari noda-noda dunia dan godaan-godaannya; puasa merupakan pembebas jiwa dari jeratan kenikmatan dan keasyikan rendah dunia. Sehingga, melimpahnya materi tak akan mendominasi dan menguasai perilaku manusia dalam kehidupan ini. Bahkan perilaku terpuji dan daya spiritual luhurlah yang akan mendominasi kehidupan ini. Dengan hal itu, terwujud lah persaudaraan dan kecintaan manusia, juga terealisasi kerjasama antara individu dan masyarakat-suatu hal yang tak ditemukan pada kehidupan materialistis yang didengungkan bangsa-bangsa dunia saat ini, karena pengenyampingannya terhadap sisi spiritual-dan darinya lah diperoleh kemauan untuk hidup damai, aman, saling kerjasama dan mencinta.
Inilah spiritual tinggi, dan inilah kebijaksanaan-kebijakasanaan yang mengagumkan. Itulah sebagian keistimewaan dan buah puasa. Hal ini telah tunjukkan oleh al-Qur`an dalam ayat puasa dengan firman-Nya: "... agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2:183). Nabi saw juga menunjukkan hal senada dalam sabdanya: "Puasa adalah benteng". Puasa membangkitkan kekuatan hati, ketakwaan hati, juga ketundukan kepada Allah semata. Puasa memadamkan beban-beban jiwa, semisal dengki, dendam, egois, angkuh dan sombong, dan menjaga jiwa dari tergelincir bersama hawa nafsu, dari kecenderungan memaksa dan sewenang-wenang, juga melindungi jiwa dari kekejian, tindakan amoral dan asusila.
Benar, puasa adalah sebaik-baik pendidik bagi manusia melalui hati yang jernih dan ikhlas dalam berbuat, juga melalui kesungguhan, kemantapan dan kuatnya niat. Keutamaan-keutamaan ini, semuanya adalah sumber kebaikan dan dasar dari sifat-sifat terpuji.
Seseorang yang mengekang dirinya sepanjang hari dari kebiasaan-kebiasaannya, seperti makan dan minum, dan dari keinginan-keinginan syahwat-seperti kenikmatan yang dihalalkan oleh Allah pada saat-saat selain puasa-, maka barangsiapa mengekang dirinya dari hal-hal halal semacam ini karena ketaatan kepada Allah, mematuhi hukum-hukum Allah, dan bermaksud untuk memperoleh ridha-Nya, tak syak lagi, ia akan mampu menahan dirinya dari hal-hal yang haram. Juga akan mampu menahan dirinya dari segala sesuatu yang dimurkai Allah.
Begitu pula perilakunya dalam masyarakat dan hubungannya dengan orang lain akan dijalani dengan penuh kejujuran, amanat, mentaati kesepakatan, menepati janji, tak berdusta dan tak suka bertengkar. Ia juga tak akan menipu, dan tiada berkhianat. Bahkan atas nama agama dan kehormatannya ia akan menjauhkan diri dari segala bentuk kemungkaran dan perilaku kotor, juga segala sesuatu yang dapat menghilangkan kehormatan, kemulian, dan keluhuran cita-citanya.
Inilah manfaat-manfaat puasa bagi manusia dengan kesehatan tubuh dan jasad mereka. Puasa baginya adalah pemelihara, penjaga kekuatan, pembersih organ-organ tubuh dari pengaruh cairan-cairan yang berbahaya-diungkapkan oleh paramedis bahwa ada cairan-cairan di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kelainan dan penyakit.
(Oleh: Syaikh 'Abd-u 'l-Rahmân Tâj, Syaikh-u 'l-Azhar terdahulu, dikutip dari artikel di Majalah al-Azhar, edisi Ramadan Tahun 1376 H/Alih bahasa: Shocheh Ha.)
Jalan Kemuliaan Puasa
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa.
Sorga, Jamuan Allah Untuk Orang Mukmin
Dimuat Minggu, 25 November 2001

Di saat manusia kembali kepada Tuhannya, di situlah ia akan bersilaturrahmi kepada penciptanya. Tuhan yang memberinya petunjuk dan yang memberinya alam kehidupan. Pertemuan antara pencipta dan yang dicipta ini, merupakan akhir dari perjalanan yang dilalui manusia. Layaknya tuan rumah, Allah menyediakan tamu-tamunya berbagai hidangan, tergantung kepada setiap individu-individu yang sampai kepadaNya. Pada mereka disediakan tempat-tempat khusus tergantung kepada jalur dan rute yang dilalui. Mereka yang beriman akan ditempatkan di tempat khusus yang namanya sorga dan mereka yang tidak beriman akan ditempatkan di ruang yang disebut neraka.
"Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan beramal soleh ke dalam sorga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka berhiaskan kalung-kalung dari emas dan mutiara, pakaian mereka terbuat dari sutera, mereka diantarkan dalam ruang yang penuh kata-kata baik dan indah dan mereka diantarkan kepada jalan yang terpuji" (QS. Haj : 23-24).
Sorga memang jamuan dari Allah, Yang Maha Kaya dan Maha Dermawan. Hadiah ini dinisbatkan kepada tamu-tamu Allah yang beriman dan mereka yang senantiasa menjunjung tinggi etika mulia (ahlakul karimah). Yaitu mereka yang senantiasa melakukan kabajikan dan senantiasa memerangi kemaksiatan. Rasulullah pernah bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk sorga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia" (HR. Ahmad).
Jamuan yang diberikan oleh Sang Pencipta tentu berbeda jauh dengan jamuan yang ada di dunia ini. Jamuan yang biasa kita berikan kepada tamu-tamu mungkin sebatas makanan, minuman dan hadiah-hadiah kecil dan perkara-perkara duniawi. Jamuan kita juga terbatas dengan waktu dan tempat, tergantung kepada situasi dan kondisi. Mungkin, ketika kita senang, jamuan yang kita hidangkan terkadang terkesan glamor dan berlebih-lebihan, namun kala kita sedang marah dan tertekan, jamuan yang kita sajikan begitu sederhana dan bahkan tidak segan kita tidak menyuguhkan apa-apa. Terkadang kita juga memberi jamuan kepada tamu-tamu hanya untuk gengsi-gengsian, memamerkan kekayaan kita dan demi tujuan tertentu kita.
Lain halnya jamuan yang dihidangkan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang beriman dan beramal saleh. Jamuan ini begitu sempurna. Saking sempurnanya hingga sulit untuk digambarkan dan dicontohkan dalam kehidupan ini. Kata Rasulullah, "Sorga ibaratnya, tidak ada mata yang pernah melihatnya dan tidak ada telinga yang pernah mendengarnya, bahkan tidak sedetik pun bisa terbersit dalam hati manusia, dari sesuatu yang maha sempurna". Karena itulah kebahagiaan hakiki yang disuguhkan kepada hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh. Dan kebahagiaan yang paling tinggi yang disuguhkan Allah dalam sorga adalah berkesempatan bertemu langsung dengan Allah, "Tingkat sorga terendah adalah perumpamaan seseorang yang berkesempatan menikmati kampung halamannya, melihat istrinya, sanak saudaranya dengan penuh kebahagiaan selama seribu tahun. Dan tingkat tertinggi sorga adalah melihat Allah siang dan malam, "Muka-muka mereka pada hari itu berseri karena melihat Tuhan mereka" (H.R. Tirmizi).
Nabi Ibrahim as. bernah berpesan kepada Nabi Muhammad saw pada saat perjumpaan keduanya di malam Mi'raj, "Hai Muhammad, sampaikan salamku untuk umatmu dan ceritakan kepada mereka bahwa sorga bertanahkan wangi-wangian, airnya terasa segar, dan tanaman-tanamannya adalah "subhanallah", 'Alhamdulillah" dan "la'ilaaha illallah".
Siapakah tamu-tamu yang berhak mendapat suguhan sorga ketika nanti bertemu Allah. Mereka adalah orang-orang yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an surah Ali Imran ayat 133-135 sebagai berikut:
- Orang-orang yang bertakwa, yaitu mereka yang takut Allah, dengan menjalankan semua perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.
- Orang-orang yang menyedekahkan hartanya sesuai dengan anjuran agama, baik itu zakat, sedekah maupun infak, baik dalam keadaan sulit maupun mudah. Ketika mereka banyak rezeki tidak mencerminkan orang yang cinta harta, bahkan ketika mereka dalam kesulitan sama sekali tidak mencerminkan kepelitan.
- Mereka yang bisa menahan amarah dan tidak berbuat aniaya.
- Mereka yang pemaaf, dan yang demi kebaikan selalu memaafkan orang yang pernah menganiayanya dan memusuhinya.
- Mereka yang ketika melakukan perbuatan tercela, segera ingat Allah dan meminta ampunanNya atas dosa-dosa yang dilakukannya.
- Mereka yang tidak suka berlarut-larut dalam kesalahan dan perbuatan dosa.
- orang-orang yang beriman dengan rukun-rukun iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, nabi-nabi Allah, hari akhir dan ketentuan dan keputusan Allah. Mereka beriman dengan lisan, hati dan perbuatan mereka.
- Mereka yang mendirikan salat mereka dengan khusyu'
- Mereka yang meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan yang memanfaatkan waktu mereka untuk tindakan-tindakan yang bermanfaat.
- Mereka yang membayar zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah.
- Mereka yang menjaga alat kelamin mereka dari perbuatan zina dan pelanggaran seksual yang dilarang agama.
- Mereka yang yang senantiasa memenuhi amanah dan janji-janji mereka, dan
- Mereka yang senantiasa menjaga salat-salat mereka.
Sumber
http://www.pesantrenvirtual.com/ramadhan/1422-001.shtml
0 komentar:
Posting Komentar